Selasa, 22 Juni 2010

Agama Adalah Akal

Penulis pernah menghadiri suatu ceramah. Dikatakan oleh penceramah bahwa bangsa Indonesia sekarang sedang mengalami krisis yang sangat parah, antara lain adalah menjadi bangsa yang takut menggunakan akal, tidak mau dan malas berpikir.
Ini terjadi mungkin diakibatkan penjajahan Belanda yang lama atau mungkin kurang gizi dalam makanannya. Kemungkinan lain yang dikatakan penceramah adalah karena sekarang mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tetapi pada waktu Islam datang ke Indonesia di abad ke-14 adalah ajaran Islam yang kurang bermutu. Pada abad itu Islam sedang dalam grafik menurun/di bawah sehingga ajarannya pun kurang bermutu. Dalam menerima ajaran mereka tidak menggunakan akal, tetapi menurut, meniru saja secara turun temurun saja atau taklid kepada fatwa ulama. Padahal ada anjuran Nabi yang mengatakan “Agama adalah Akal, tidak ada agama bagi orang tak menggunakan akal“
Akal itu sangat penting dalam menentukan keselamatan hidup di dunia dan dunia masa depan. Sebagaimana hadits mengatakan :
“Barang siapa ingin mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia, dia harus berpengetahuan. Barangsiapa yang ingin mendapatkan keselamatan hidup di akherat, dia harus berpengetahuan. Dan barang siapa yang ingin hidup selamat hidup di dunia dan akherat dia juga harus berpengetahuan“.
Jadi kunci agar dapat hidup selamat dan bahagia adalah berpengetahuan. Pengetahuan itu tak akan dapat dicari tanpa proses berpikir, yaitu dengan akal. Akal tak dapat bekerja penuh tanpa belajar/studi. Studi itu perlu banyak membaca. Itulah mengapa ayat pertama dalam Quran adalah iqra … bacalah …
Dalam kaitannya dengan masalah Ibadah haji, kita bangsa Indonesia menerima warisan begitu saja dari para ulama terdahulu. Dengan mempelajari sejarah kita tahu bahwa gelar haji itu dulunya tidak ada. Ada Ulama dari negara Mesir. Rektor Universitas Al Azhar Cairo, Dr Sayyid Razak Thawil (1997) menolak pemakaian gelar “haji” bagi yang telah menyelesaikan ibadah haji tersebut, alasannya adalah pada zaman Nabi hidup maupun di zaman sesudahnya, zaman sahabat ataupun bahkan Tabiin gelar haji tersebut tak pernah ditemukan,
Betapa banyak korban akibat dari orang-orang mengejar gelar tersebut yang biasanya diembel-embeli dengan surga. Contoh “karena tidak berpengetahuan, seseorang berhutang uang kesana kemari untuk biaya naik haji, sepulang dari ibadah haji mendadak sakit dan akhirnya meninggal. Siapakah yang mencicil hutangnya. Bukankah ini membuat derita keluarganya. Dan bukankah ini berarti melanggar ajaran agama, karena agama bukan menjadikan seseorang menderita.
Ada lagi yang naik haji dua tiga kali membuang-buang biaya, padahal wajib yang dicontohkan Nabi hanya satu kali tok, yah itu semua akibat tidak berpengetahuan, karena tidak mengerti tujuan hakiki dari ajaran agama.
Ada ungkapan mengatakan “Syareat Haji wajib dilaksanakan Hakekat Haji wajib keselamatan” Coba mari kita pikirkan memakai akal sehat mana yang harus didahulukan. Jadi disini ada dua tingkatan syariah haji dan hakekat haji. Siapa yang sudah melaksanakan ibadah haji ke Mekah kiasannya adalah Haji Majasi, tetapi seseorang yang sudah Tajali, mengenal, mengetahui dan bersatu dengan Tuhannya atau istilah Jawanya Manunggaling Kawula lan Gusti itulah Haji Hakiki, Seseorang yang Insya Allah akan mendapat keselamatan, walaupun orang tersebut belum pernah mengunjungi Mekah. Sebab untuk menemui Allah dapat ditemui dimana saja tak terikat oleh tempat. Kapan saja dimana saja manusia berkeinginan menemui Tuhannya, berkeinginan menjadi tamu Allah, pastilah Allah bersedia menerimanya dan untuk menjadi tamu Allah pun tidak dibatasi oleh satu kelompok atau satu agama,
Jadi bila kita pakai akal sehat sangatlah sia-sialah seseorang berhaji dua atau tiga kali bila tak menemukan Hakikat Haji yang sebenarnya. Yang harus dikejar setelah orang berhaji adalah meningkatkan pengabdian sosialnya terhadap masyarakat sekitar, menambah wawasan keagamaannya, bahwa yang harus dikejar adalah bertemu dengan Allah, Tajali. Karena itu adalah tujuan akhir dari kehidupan manusia maupun orang yang berhaji.
Bila seseorang menggunakan akal maka pasti akan bertanya dalam hati “seseorang berhaji itu menjadi tamu Allah, tetapi manakah Tuan rumahnya yang bernama Allah itu?”
Bila pertanyaan itu dibawa ketika sedang wukuf di Padang Arafah, maka saat itulah saat yang tepat untuk berdiam diri merenungkannya. Maksud dan tujuan jemaah haji ber wukuf di Arafah adalah agar merenungkan pertanyaan di atas “dimanakah Allah berada? mengapa menjadi tamu-Nya tetapi tidak bisa menemuinya?”
Pertanyaan tersebut akan ditemukan jawabannya bila Anda berpengetahuan atau banyak membaca. Hadits Nabi menjawab pertanyaan Anda itu “Man Arafah nafsahu faqod arofah Rabbahu” Barang siapa yang mengenal jiwanya pastilah dia akan mengenal TuhanNya” “Al Insanu sirri wa Anna sirruhu”… manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya…. ”Qolanul Insan Baitur Rahiem” ….. Qolbu manusia adalah rumah Tuhan…..
Nah lebih dekat lagi adalah…. keberadaan beliau adalah lebih dekat dari Urat Nadi leher Anda sendiri
Sekali lagi sesungguhnya tujuan puncak dari ibadah haji adalah menemukan Allah, bukan hanya menjadi tamu, tetapi bertemu dengan Tuan Rumahnya, yang menurut ajaran Sufi menemukan Jati Dirinya di dalam dirinya sendiri. Untuk kemudian nantinya dapat pulang ke hadirat-Nya. Inna Lillahi wa inna illihi rajiun. ”Aku berasal dari Allah dan akan kembali pada -Nya”
Arifin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar